Perceraian bukan sekadar akhir dari sebuah hubungan, melainkan juga gejala sosial yang merefleksikan dinamika masyarakat. Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, mencatat fakta yang cukup memprihatinkan: sebanyak 1.034 perempuan di daerah ini kini berstatus janda akibat perceraian. Angka ini menjadi penanda bahwa permasalahan rumah tangga bukanlah hal sepele, dan perlu perhatian lebih dari berbagai pihak.
Tingginya angka perceraian tentu tidak terjadi tanpa sebab. Salah satu faktor utama adalah perselisihan yang terus-menerus dalam rumah tangga. Konflik yang tidak terselesaikan dan kurangnya kemampuan komunikasi yang sehat sering kali menjadi pemicu ketidakharmonisan. Saat emosi lebih dominan daripada pemahaman, perceraian menjadi jalan keluar yang dianggap paling mudah, meski bukan yang terbaik.
Selain itu, kondisi ekonomi turut memegang peranan besar. Ketika kebutuhan hidup tidak terpenuhi, dan tekanan finansial kian menghimpit, hubungan suami-istri menjadi rentan terhadap pertengkaran. Tidak sedikit pasangan yang akhirnya menyerah karena tidak mampu menanggung beban hidup bersama.
Penyebab lainnya adalah ketidakhadiran atau penelantaran dari salah satu pihak. Suami atau istri yang pergi tanpa kabar, atau yang enggan menjalankan peran dan tanggung jawabnya, menjadi penyebab retaknya kepercayaan dalam hubungan. Dalam kasus lain, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menjadi alasan yang cukup kuat untuk mengakhiri pernikahan. Meski tidak sebanyak kasus lain, KDRT merupakan bentuk pengkhianatan terhadap esensi pernikahan itu sendiri: cinta, kasih sayang, dan saling melindungi.
Tidak bisa diabaikan pula masalah sosial modern seperti judi dan pinjaman online. Kebiasaan berjudi, apalagi secara daring, sering kali merusak kondisi finansial rumah tangga. Hutang yang menumpuk akibat pinjol juga menciptakan tekanan mental dan konflik berkepanjangan. Hal-hal ini menambah daftar penyebab perceraian yang seharusnya bisa dicegah melalui kesadaran dan edukasi yang tepat.
Untuk mengatasi masalah ini, pendekatan yang holistik diperlukan. Pendidikan pra-nikah, misalnya, bisa menjadi bekal penting agar pasangan memahami bahwa pernikahan bukan hanya soal cinta, tetapi juga soal tanggung jawab. Konseling perkawinan juga bisa membantu pasangan mengurai benang kusut permasalahan mereka sebelum memutuskan untuk bercerai. Selain itu, pentingnya literasi keuangan bagi keluarga harus digalakkan, agar mereka tidak mudah terjerat utang atau gaya hidup konsumtif yang tidak realistis.
Perceraian bukan hanya urusan dua orang, tapi berdampak pada anak, keluarga besar, bahkan masyarakat. Oleh karena itu, penurunan angka perceraian bukan sekadar soal data, tapi tentang menyelamatkan masa depan keluarga dan generasi yang tumbuh di dalamnya. Sambas, seperti wilayah lainnya di Indonesia, memerlukan pendekatan kolaboratif antara pemerintah, tokoh agama, dan masyarakat agar rumah tangga tidak hanya bertahan, tapi juga bahagia dan bermakna.(redaksi_insan)