Oleh: Dr. Andree Armilis, MA
(Sosiolog dan Ahli Manajemen Strategik)
Suatu keputusan yang besar dalam institusi sekelas Tentara Nasional Indonesia semestinya melewati proses yang matang. Maka ketika mutasi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo dari jabatan Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Pangkogabwilhan) I diumumkan pada 29 April 2025, publik—terutama kalangan pengamat militer—memahami bahwa itu adalah bagian dari mekanisme biasa dalam rotasi pejabat tinggi TNI. Namun yang luar biasa adalah pembatalannya hanya sehari kemudian.
Peristiwa ini tak ubahnya tamparan bagi wibawa institusi militer yang selama ini dikenal disiplin, tertib, dan penuh perhitungan. Keputusan yang berubah dalam hitungan jam bukan hanya menciptakan kesan bahwa TNI tidak solid dalam pengambilan keputusan strategis, tapi juga membuka ruang spekulasi tentang adanya tekanan politik yang masuk ke ruang-ruang steril kemiliteran.
Ketika Manajemen Tergerus Politik
Saya tidak hendak mendramatisasi persoalan ini, tetapi fakta bahwa Letjen Kunto adalah putra dari mantan Wakil Presiden Jenderal (Purn) Try Sutrisno—tokoh senior dalam Forum Purnawirawan TNI yang sempat menyatakan sikap kritis terhadap kepemimpinan nasional, termasuk keberadaan Wapres Gibran Rakabuming Raka—menjadikan momen ini sarat tafsir politis.
Padahal, militer di negara demokratis seharusnya tidak larut dalam urusan politik praktis. Sebagaimana ditegaskan oleh Samuel P. Huntington dalam The Soldier and the State, militer yang sehat adalah yang tunduk pada otoritas sipil, namun tetap menjaga otonomi profesionalnya. Militer tidak boleh menjadi alat kekuasaan. Ia adalah alat negara, dan kesetiaannya hanya kepada konstitusi, bukan kepada figur atau partai politik.
Sayangnya, dalam praktiknya, profesionalisme itu rapuh ketika manajemen internal tidak dijalankan dengan baik. Pembatalan mutasi secara mendadak mencerminkan ketidakstabilan manajerial dan lemahnya sistem perencanaan yang seharusnya kokoh dalam institusi sebesar TNI.
Tantangan Era Baru: Kepemimpinan Militer dalam Society 5.0
Fenomena ini menjadi lebih mengkhawatirkan jika kita kaitkan dengan tantangan era kontemporer. Dalam studi saya bersama Arafah dan Syafri yang diterbitkan di Scientific Research Publishing (2024), kami menekankan bahwa kepemimpinan militer saat ini tidak bisa hanya mengandalkan kemampuan teknis dan komando. Di era Society 5.0—di mana batas antara ruang fisik, digital, sosial, dan politik kian kabur—militer harus dipimpin oleh figur yang mampu mengelola kompleksitas, adaptif terhadap perubahan, dan terbuka terhadap transparansi.
Kepemimpinan semacam ini menuntut keterampilan konseptual yang tinggi, kecerdasan emosional, dan komitmen terhadap prinsip good governance. Apalagi di tengah dinamika strategis global yang semakin tidak menentu—dari perang siber, perang informasi, hingga ketegangan geopolitik yang menyentuh batas teritorial kita—militer harus menjadi institusi yang andal, bukan mudah terombang-ambing oleh tekanan internal maupun eksternal.
Ketika keputusan strategis seperti mutasi jabatan tinggi bisa dibatalkan dalam sehari, bagaimana kita bisa berharap sistem kepemimpinan TNI mampu menghadapi tantangan yang jauh lebih kompleks dan mendesak?
Saatnya Meluruskan Arah
TNI adalah kebanggaan bangsa. Di pundaknya bertumpu bukan hanya tugas pertahanan, tetapi juga kepercayaan rakyat. Maka ketika dinamika internalnya terganggu oleh aroma politisasi atau kesan tarik-ulur kekuasaan, yang harus segera dilakukan bukan sekadar klarifikasi, melainkan perbaikan mendalam.
Perbaikan itu harus mencakup pembenahan sistem manajemen personel berbasis meritokrasi, peningkatan transparansi dalam rotasi jabatan strategis, serta penguatan kembali etika dan budaya netralitas militer. Sebab netralitas bukan sekadar jargon normatif; ia adalah fondasi dari profesionalisme militer. Dan profesionalisme adalah syarat mutlak agar TNI tetap menjadi institusi yang kuat, dihormati, dan tidak mudah digunakan oleh kekuatan politik manapun.
Saya percaya bahwa di dalam tubuh TNI masih banyak pemimpin yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip itu. Namun jika manajemen internalnya terus dibiarkan longgar dan mudah disusupi motif di luar kepentingan negara, maka lambat laun integritas institusi ini bisa rusak dari dalam.
Tidak ada bangsa besar tanpa militer yang kuat dan profesional. Namun kekuatan militer bukan diukur dari jumlah senjata, melainkan dari kualitas kepemimpinan, kedisiplinan institusi, dan kepercayaan publik. Maka mari kita jaga TNI dari kerusakan yang ditimbulkan oleh ketidaktegasan manajemen dan intervensi politik yang mencederai netralitasnya.
Karena jika militer telah ikut bermain politik praktis, maka siapa lagi yang akan berdiri netral untuk kepentingan bangsa?